Kamis, 24 Maret 2011

Teritorialitas


Pembentukan kawasan teritotial adalah mekanisme perilaku untuk mencapai privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas batas-batasan antar diri dengan orang lain, maka pada teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relative tetap.

Tinjauan teori teritorialitas
Sebagai awal teori teritori yang digunakan dalam desain ruang publik, pertama kali teori dikembangkan oleh Altman seorang pakar masalah perilaku. Awalnya dia mengembangkan teori ”Behaviour Constraint ” atau yang biasa disebut dengan teori hambatan perilaku. Premis asal teori ini adalah stimulasi yang berlebih atau yang tidak diinginkan, mendorong terjadinya arousal atau hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi. Akibatnya seseorang atau kelompok merasa kehilangan kontrol terhadap situasi yang sedang terjadi. Hal tersebut menjadi awal terbentuknya teori dan konsep teritori pada desain lingkungan.
… a territory is a delimited space that a person or a group uses and defends as an exclusive preserve. It involves psychological identification with a place, symbolizedby attitudes of possessiveness and arrangement of objects in the area….

Lebih lanjut Irwin Altman menyatakan bahwa :

… Territorial behaviour is a self-other boundary regulation mechanism that involves personalization of or marking a place or object and communication that it is owned by a person or group.

Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkapkan bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering melibatkan cirri pemiliknya dan pertahanan dari serangan orang lain. 

Definisi diatas menyatakan karakter dasar dari suatu teritori yaitu tentang:
1.      Kepemilikan dan tatanan tempat.
2.      Personalisasi atau penandaan wilayah.
3.      Taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan.
4.      Kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan aesthetic

Berdasarkan teorisasi tersebut diletakkan dasar pengertian sekaligus batasan definisi tentang tempat privat dan tempat public Place pada pernyataan di atas menunjuk pada ruang dalam konteks perilaku lingkungan yang dinyatakan dengan adanya batas fisik yang dibangun melingkupi suatu ruang ( terkadang dengan tujuan untuk membatasi gerak, pandangan atau suara ). Ruang juga ditandai (sebagai batasan) oleh perilaku organisme yang diwadahinya. Pertahanan atas serangan terhadap territorial hendaknya tidak dibaca secara harfiah. Karakter perilaku keruangan dalam suatu ruangan bisa sangat beragam namun ada satu kesamaan mendasar yang disebut ‘teritoriality’. 
Manusia berakal mendudukkan teritory sebagai wilayah kekuasaan dan pemilikan yang merupakan organisasi informasi yang berkaitan dengan identitas kelompok.( sebagai contoh adalah pernyataan ‘apa yang kita punya’ dan ‘apa yang mereka punya’). Irwin Altman (1975) membagi teritori menjadi tiga kategori dikaitkan dengan keterlibatan personal, involvement, kedekatan dengan kehidupan sehari hari individu atau kelompok dan frekuensi penggunaan.

Tiga kategori tersebut adalah primary,secondary dan public territory:
1.      Primary territory, adalah suatu area yang dimiliki, digunakan secara eksklusif, disadari oleh orang lain, dikendalikan secara permanen, serta menjadi bagian utama dalam kegiatan sehari-hari penghuninya.
2.      Secondary territory, adalah suatu area yang tidak terlalu digunakan secara eksklusif oleh seseorang atau sdekelompok orang mempunyai cakupan area yang relatif luas, dikendalikan secara berkala.
3.      Public territory, adalah suatu area yang digunakan dan dapat diamsuki oleh siapapun akan tetapi ia harus mematuhi norma-norma serta aturan yang berlaku di area tersebut.

Ketiga kategori tersebut sangat spesifik dikaitkan dengan kekhasan aspek kultur masyarakatnya. Kalau merujuk pada batasan diatas maka yang disebut dengan tempat privat adalah setara dengan primary teritory sedangkan tempat publik setara dengan public territory.
Dalam terminologi perilaku , hal diatas berkaitan dengan apa yang disebut sebagai privacy manusia. Seperti yang dinyatakan oleh Edney (1976). Type dan derajat privacy tergantung pola perilaku dalam konteks budaya, dalam kepribadiannya serta aspirasi individu tersebut.
Penggunaan dinding, screen, pembatas simbolik dan pembatas teritory nyata, juga jarak merupakan mekanisme untuk menunjukkan privacy.
Konsep privasi dan teritorial memang terkait erat. Namun definisi privasi lebih ditekankan pada kemampuan individu atau kelompok untuk mengkontrol daya visual, auditory, dan olfactory dalam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam arti konsep privacy menempatkan manusia sebagai subyeknya bukan tempat/place yang menjadi subyeknya.
Tiap individu mempunyai perbedaan perilaku keruangannya. Perbedaan ini merefleksikan perbedaan pengalaman yang dialami dalam pengelolaan perilaku keruangan sehubungan dengan fungsinya sebagai daya proteksi dan daya komunikasi. Yang menyebabkan perbedaan tanggapan ini antara lain jenis kelamin, daya juang, budaya, ego state, status sosial, lingkungan, dan derajat kekerabatan (affinity) sebagai sub system perilaku. Lebih jauh hal ini akan menentukan kualitas dan keluasan personal space yang dimiliki tiap individu ( disamping tentu saja adanya pengaruh schemata, afeksi, perilaku nyata, pilihan tiap individu).
Seperti yang telah dikemukan, bahwa pada konsep pendekatan perilaku dalam desain ruang publik, teritorialitas merupakan hal yang sangat mempengaruhi perilaku pada ruang publik, karena pembentukan teritori yang lebih luas dari individu atau kelompok akan menyangkut pula pada hak teritorial individu atau kelompok lainnya. Hal tersebut sering kali membuat terjadinya masalah diruang publik, hingga dalam desain ruang publik harus betul-betul memperhatikan dan menekankan desain pada perilaku teritorialitas.
Teritori interaksi ditujukan untuk sebuah daerah yang secara temporer dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi. Sementara teritori badan dibatasi oleh badan manusia namun berbeda dengan ruang personal yang batasnya bukanlah ruang maya melainkan kulit manusia.
1.      Pelanggaran dan pertahanan teritori.
a.       Bentuk pelanggaran teritori dapat diindikasikan adalah sebagai suatu invasi ruang. Secara fisik seseorang memasuki teritori orang lain biasanya dengan maksud mengambil kendali atas teritori tersebut. 
b.      Bentuk kedua adalah kekerasan sebagai sebuah bentuk pelanggaran yang bersifat temporer atas teritori orang lain, biasanya hal ini bukan untuk menguasai teritori orang lain melainkan suatu bentuk gangguan, seperti gangguan terhadap fasilitas publik.
c.       Bentuk ketiga adalah kontaminasi, yaitu seseorang mengganggu teritori orang lain dengan meninggalkan sesuatu yang tidak menyenangkan seperti sampah, coretan atau merusaknya.
Pertahanan yang dapat dilakukan untuk mencegah pelanggaran teritori antara lain;
1.      Pencegahan seperti memberi lapisan pelindung, memberi rambu-rambu atau pagar batas sebagai antisipasi terhadap bentuk pelanggaran.
2.      Reaksi sebagai respon terhadap terjadinya pelanggaran, seprti menindak si pelanggar.

2.      Pengaruh pada teritorialitas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaan teritori adalah karakteristik personal seseorang, perbedaan situasional dan faktor budaya.
a.       Faktor Personal
Faktor personal yang mempengaruhi karakteristik seseorang yaitu jenis kelamin, usia dan kepribadian yang diyakini mempunyai pengaruh terhadap sikap teritorialitas.
b.      Faktor Situasi
Perbedaan situasi berpengaruh pada teritorialitas, ada dua aspek situasi yaitu tatanan fisik dan sosial budaya yang mempunyai peran dalam menentukan sikap teritorialitas.
c.       Faktor budaya
Faktor budaya mempengaruhi sikap teritorialitas. Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori hal ini dilatar belakangi oleh budaya seseorang yang sangat beragam. Apabila seseorang mengunjungi ruang publik yang jauh berada diluar kultur budayanya pasti akan sangat berbeda sikap teritorinya. Sebagai contoh seorang Eropa datang dan berkunjung ke Asia dan dia melakukan interaksi sosial di ruang publik negara yang dikunjungi, ini akan sangat berbeda sikap teritorinya. 

3.      Teritorialitas dan agresi
Salah satu aspek yang paling menarik dari teritorialitas adalah hubungan antara teritori dan agresi. Walaupun tidak selalu disadari, teritori berfungsi sebagai pemucu agresi dan sekaligus sebagai stabilisator untuk mencegah terjadinya agresi. Salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan antara teritorialitas dan agresi adalah status dari teritori tertentu ( apakah teritori tersebut belum terbentuk secara nyata atau dalam perebutan, atau sudah tertata dengan baik ).
Altman (1975), mengatakan bahwa atribusi yang kita pergunakan untuk menilai suatu tindakan akan menentukan respon terhadap invasi teritori tersebut hingga kita hanya akan merasakan suatu tindakan agresi pada saat kita merasakan tidak orang lain yang kita anggap mengancam. Kemudian secara umum kita memakai respon verbal, kemudian memakai cara-cara fisik seperti memasang papan atau tanda peringatan.
Teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi, koordinasi dan kontrol.
a.       Personalisasi dan penandaan.
Personalisasi dan penandaan seperti memberi nama, tanda atau menempatkan di lokasi strategis, bisa terjadi tanpa kesadaran teritorialitas. Seperti membuat pagar batas, memberi nama kepemilikan. Penandaan juga dipakai untuk mempertahankan haknya di teritori publik, seperti kursi di ruang publik atau naungan.
b.      Agresi.
Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras bila terjadi pelanggaran di teritori primernya dibandingkan dengan pelanggaran yang terjadi diruang publik. Agresi bisa terjadi disebabkan karena batas teritori tidak jelas.
c.       Dominasi dan Kontrol.
Dominasi dan kontrol umumnya banyak terjadi di teritori primer. Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting.

4.      Teritori sebagai perisai perlindungan.
Banyak individu atau kelompok rela melakukan tindakan agresi demi melindungi teritorinya, maka kelihatannya teritori tersebut memiliki beberapa keuntungan atau hal yang dianggap penting. Kebenaran dari kalimat ” Home Sweet Home”, telah diuji dalam berbagai eksperimen. Penelitian mengenai teritori primer, skunder, dan publik menunjukkan, bahwa orang cenderung merasa memiliki kontrol terbesar pada teritori primer, dibanding dengan teritori sekunder maupun teritori publik. Ketika individu mempresepsikan daerah teritorinya sebagai daerah kekuasaannya, itu berarti mempunyai kemungkinan untuk mencegah segala kondisi ketidak nyamanan terhadap teritorinya.
Seringkali desain ruang publik tidak memperhatikan kebutuhan penghuninya untuk memanfaatkan teritori yang dimilikinya.

Sumber:

http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/peng_psikologi_lingkungan/bab5-ruang_personal_dan_teritorialias.pdf

Jumat, 18 Maret 2011

Ruang Personal

           Altman (dalam Giford, 1987) mengatakan bahwa privasi pada dasarnya merupakan konsep yang terdiri atas proses 3 dimensi. Pertama, privasi merupakan proses pengontrolan boundary. Artinya, pelanggaran terhadap boundary ini merupakan pelanggaran terhadap privasi seseorang. Kedua, privasi dilakukan dalam upaya memperoleh optimalisasi. Seseorang menyendiri bukan berarti ia ingin menghindarkan diri dari kehadiran orang lain atau keramaian, tetapi lebih merupakan suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, privasi merupakan proses multi mekanisme. Artinya, ada banyak cara yang dilakukan orang untuk memperoleh privasi, baik melalui ruang personal, teritorial, komunikasi verbal, dan komunikasi non verbal.
            Ruang personal adalah ruang di sekeliling individu, yang selalu di bawa kemana saja orang pergi, dan orang akan merasa terganggu jika ruang tersebut diinterferensi (Gifford, 1987). Artinya, kebutuhan terhadap ruang personal terjadi ketika orang lain hadir. Ketidakhadiran orang lain, kebutuhan tersebut tidak muncul. Ruang personal biasanya berbentuk buble dan bukan semata-mata ruang personal tetapi lebih merupakan rauang interpersonal. Ruang personal ini lebih merupakan proses belajar atau sosialisasi dari orang tua. Seringkali orang tua mengingatkan anaknya untuk tidak mendekati orang asing dan lebih dekat ke orang tua terutama ibu atau anak diminta memberikan ciuman kepada saudaranya. Anak mempelajari aturan-aturan bagaimana harus mengambil jarak dengan orang yang sudah dikenal dan orang yang belum dikenalnya. Oleh karenanya, pengambilan jarak yang tepat ketika berinteraksi dengan orang lain merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan ruang personal diri dan orang lain.
            Fungsi ruang personal adalah untuk mendapatkan kenyamanan, melindungi diri, dan merupakan sarana komunikasi. Salah satu penelitian besar mengenai ruang personal dilakukan oleh Edward Hall yang bertujuan meneliti ruang personal sebagai cara mengirimkan pesan. Menurut Hall, ada kebutuhan dasar manusia untuk mengelola ruang yang disebut dengan proxemics. Dengan memperhatikan jarak digunakan antar orang yang sedang berbicara, pengamat dapat menyimpulkan seberapa jauh kualitas hubungan interpersonal mereka. Jarak 0 – 45 cm dikategorikan sebagai jarak intim. Jarak personal dilakukan dalam jarak 3,5 – 7 meter. Jarak intim dilakukan oleh orang yang memang benar-benar mempunyai kualitas hubungan psikis sangat erat, jarak personal dilakukan dalam berinteraksi dengan teman atau sahabat, jarak sosial dilakukan individu yang tidak dikenal atau transaksi bisnis, sedangkan jarak publik dilakukan oleh para public figure (Fisher, 1984; Gifford, 1997).
Aplikasi teori ruang personal terhadap rancangan lingkungan fisik adalah apakah fungsi utama dari lingkungan fisik tersebut dikaitkan dengan aktivitas dalam setting tersebut. Jika setting dirancang untuk memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan model sosiofugal yang diperlukan, seperti ruang keluarga, ruang makan, ataupun ruang tamu. Sebaliknya, jika setting dirancang untuk tidak memfasilitasi hubungan interpersonal maka rancangan sosiopetal yang diperlukan seperti ruang baca diperpustakaan dan ruang konsultasi, dsb.

Edwad Hall, seorang peneliti di bidang ruang personal, membagi jarak antar personal ke dalam 8 bagian.  Menurutnya terjadi gradasi jarak berdasarkan tingkat keakraban antar personal.  Kedelapan jarak tersebut dikelompokkan ke dalam empat jarak utama, yaitu:
1.      Jarak Intim
a.       Jarak Intim Dekat (0-6 inchi atau 0-15 cm), yaitu jarak yang muncul pada kondisi memeluk, menenangkan, percintaan, pergulatan (olahraga) atau kontak penuh dengan orang lain.  Orang-orang tidak hanya berinteraksi pada situasi intim, atau melakukan kegiatan berdasarkan peraturan (gulat), tapi juga bisa terjadi pada kondisi emosi negatif (mis: manajer bola basket yang bertengkar dengan wasit).
b.      Jarak Intimm Jauh (6-18 inc atau 15-45 cm), mewakili hubungan yang cukup erat, misalnya seseorang yang membisikan sesuatu ke temannya,
2.      Jarak Personal
a.       Jarak Personal Dekat (18-30 inc atau 45-75 cm), yang berlaku bagi orang-orang yang saling mengenal satu sama lain dalam konteks yang positif. Biasanya diwakili oleh orang yang saling berteman atau pasangan yang sedang berbahagia.
b.      Jarak Personal Jauh (75 cm-1,2 m),  adalah jarak yang digunakan oleh orang-orang yang berteman tapi tidak saling akrab.  Biasanya jika kita menjumpai dua orang yang bercakap pada jarak ini maka hampir bisa dipastikan bahwa mereka adalah berteman tapi tidak saling akrab,
3.      Jarak Sosial
a.       Jarak Sosial Dekat (1,2 – 2 m), terjadi pada situasi ketika kita diperkenalkan kepada kawan ibu kita ketika bertemu di super market,
b.      Jarak Sosial Jauh (2-3,5 m), umumnya terjadi ketika melakukan transaksi bisnis resmi.  Pada situasi ini sangat kecil atau sama sekali tidak ada suasana pertemanan, karena biasanya masing-masing perusahaan mengutus wakil untuk berinteraksi,
4.      Jarak Publik
a.       Jarak Publik Dekat (3,5-7 m), biasanya digunakan oleh seorang dosen yang mengajar kelas theater yang terdiri dari ratusan murid di mana jika berbicara harus dari jarak yang tepat sehingga suaranya terdengar di seluruh penjuru ruangan.  Jika kita  berbicara kepada 30-40 orang, kira-kira jarak inilah yang umum kita pakai agar suara kita bisa terdengar jelas oleh masing-masing orang,
b.      Jarak Publik Jauh (7 m atau lebih), biasanya jarak yang disediakan jika ada interaksi masyarakat umum dengan seorang tokoh penting.  Akan tetapi jika tokoh itu ingin bercakap maka umumnya dia akan mendekat.

Ada beberapa unsur yang mempengaruhi jarak Ruang Personal seseorang, yaitu:
1.      Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri,
2.      Umur
Makin bertambah usia seseorang, makin besar ruang personalnya, ini ada  kaitannya dengan kemandirian.  Pada saat bayi, hampir tidak ada kemampuan untuk menetapkan jarak karena tingkat ketergantungan yang makin tinggi.  Pada usia 18 bulan, bayi sudah mulai bisa memutuskan ruang personalnya tergantung pada orang dan situasi.  Ketika berumur 12 tahun, seorang anak sudah menerapkan RP seperti yang dilakukan orang dewasa.
3.      Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya memiliki RP yang lebih kecil.  Demikian halnya dengan orang-orang yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil.  Sebaliknya si pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
4.      Gangguan Psikologi atau Kekerasan
Orang yang mempunyai masalah kejiwaan punya aturan sendiri tentang RP ini.  Sebuah penelitian pada pengidap skizoprenia memperlihatkan bahwa kadang-kadang mereka membuat jarak yang besar dengan orang lain, tetapi di saat lain justru menjadi sangat dekat
5.      Kondisi Kecacatan
Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan antara kondisi kecatatan dengan RP yang diterapkan.  Beberapa anak autis memilih jarak lebih dekat ke orang tuanya, sedangkan anak-anak dengan tipe autis tidak aktif, anak hiperaktif dan terbelakang mental memilih untuk menjaga jarak dengan orang dewasa.
6.      Ketertarikan
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif dan negatif antara satu orang dengan orang lain.  Namun yang paling umum adalah kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik.  Dua sahabat akan berdiri pada jarak yang berdekatan dibanding dua orang yang saling asing.  Sepasang suami istri akan duduk saling berdekatan dibanding sepasang laki-laki dan perempuan yang kebetulan menduduki bangku yang sama di sebuah taman.
7.      Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk.  Mungkin rasa tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu yang berbeda. 
8.      Persaingan/Kerjasama
Pada situasi berkompetisi, orang cenderung mengambil posisi saling berhadapan, sedangkan pada kondisi bekerjasama kita cenderung mengambil posisi saling bersisian. Tapi bisa juga sebaliknya, sepasang kekasih akan duduk berhadapan di ketika makan di restoran yang romantis,sedangkan dua orang pria yang duduk berdampingan di meja bar justru dalam kondisi saling bersaing mendapatkan perhatian seorang wanita yang baru masuk.
9.      Kekuasaan dan Status
Makin besar perbedaan status makin besar pula jarak antar personalnya.
10.  Pengaruh Lingkungan Fisik
Ruang personal juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan fisik.  Di ruang dengan cahaya redup orang akan nyaman jika posisinya lebih berdekatan, demikian halnya bila ruangannya sempit atau kecil.  Orang juga cenderung memilih duduk di bagian sudut daripada di tengah ruangan. 
11.  Dan beberapa variasi lain seperti budaya, religi dan suku/etnis.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Ruang Personal. http://alusi.wordpress.com/2008/06/20/ruang-personal/. 18 Maret 2011.

Helmi, Avin Fadillah. 1999. Beberapa teori psikologi lingkungan. Buletin Psikologi. 2, 0854-710

Sabtu, 12 Maret 2011

Kesesakan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang serius.
Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit­penyakit fisik yang serius (Worchel and Cooper, 1983).
Worchel dan Cooper (1983) juga mengutip beberapa penelitian yang dilakukan dalam skala kecil, seperti di asrama-asrama mahasiswa dan di kampus menunjukkan bahwa klinik kesehatan di kampus lebih banyak dikunjungi oleh mahasiswa-mahasiswa yang tinggal di asrama daripada yang tinggal sendiri.
Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan sating membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, ,berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan,sosial (Holahan, 1982).
Penelitian yang dilakukan oleh Nadler dkk. (1982) di asrama mahasiswa, membandingkan dua bentuk asrama yaitu asrama yang padat penghuninya dan asrama yang tidak padat penghuninya. Mereka meneliti tentang pengaruh kepadatan terhadap perilaku prososial para mahasiswa yang tinggal di asrama tersebut. Perilaku prososial dilihat dari segi memberikan bantuan, mencari bantuan, dan membalas bantuan orang lain. Perilaku itu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu peminjaman uang, jasa, serta pemberian dukungan emosional.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang tinggal di asrama yang tidak padat penghuninya ternyata lebih banyak memberi dan mencari bantuan, akan tetapi lebih sedikit membayar bantuan orang lain, bila dibandingkan dengan mahasiswa yang tinggal di asrama yang padat penghuninya. Respon-respon sosial yang ditunjukkan oleh mahasiswa­mahasiswa yang tinggal di asrama yang padat lebih dipengaruhi oleh kebutuhan akan bantuan orang lain.
Dalam pembahasannya mereka menulis bahwa penelitian mereka tentang perilaku prososial paralel dengan hasil penelitian persepsi terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Mahasiswa yang tinggal di asrama yang tidak padat akan memiliki persepsi positif terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial daripada mahasiswa yang tinggal di asrama yang padat penghuninya. Gove dan Hughes (1983) mendapatkan adanya korelasi antara kesesakan dalarn rumah tangga dengan hubungan perkawinan dan hubungan sosial dengan tetangga yang kurang harmonis, serta kurangnya perhatian terhadap anak.
Dan beberapa penelitian Baum dkk. (dalam Fisher dkk., 1984) menyimpulkan bahwa kepadatan sosial lebih aversif daripadakepadatan ruang. Kepadatan ruang sering memuncullcan masalah hanya pada laki-laki saja karena dalam situasi padat laki-laki lebih bersikap kompetitif. Kebanyakan masalah kepadatan niuncul karena terlalu banyaknya orang dalam suatu ruangan daripada masalah-masalah yang ditimbulkan karena terbatasnya ruang.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kesesakan (Crowding)

1.      Pengertian kesesakan
Menurut Altman kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Pengertian crowding dengan kepadatan memiliki hubungan erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan keseskan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan,1982).
Baum dan Paulus (1987) menerangkan proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat factor:
1.      Karakteristik setting fisik
2.      Karakteristik setting social
3.      Karakteristik personal
4.      Kemampuan beradaptasi

Menurut Morris kesesakan sebagai deficit suatu ruangan, maka dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas.
Besar kecilnya rumah menentukan besarnya ratio antara penghuni dan tempat (space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar ratio tersebut. Sebaliknya makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil ratio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (Ancok,1989).
Stokols (dalam Altman,1975) membedakan antara :
a.       Kesesakan bukan social (nonsocial crowding) yaitu dimana factor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit,
b.      Kesesakan social (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak.
c.       Kesesakan molar (molar crowding) perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota
d.      Kesesakan molekuler (molekuler crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal.
Rapoport (dalam Stokols dan Altman,1987) mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia. Batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

2.      Teori kesesakan
a.       Teori beban stimulus
Kesesakan akan terjadi bila stimulus yang diterima individu terlalu banyak (melebihi kapasitas kognitifnya) sehingga timbul kegagalan dalam memproses sistim atau info dari lingkungan.
Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan social.
Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa factor :
1.      Kondisi kungkungan fisik yang tidak menyenangkan
2.      Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
3.      Suatu percakapan untuk tidak dikehendaki
4.      Terlalu banyak mitra interaksi
5.      Interaksi yang terlalu dirasa terlalu dalam atau terlalu lama.
b.      Teori Ekologi
Micklin (dalam Holahan,1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia :
1.      Teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya
2.      Unti analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi social memegang peranan sangat penting.
3.      Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan social.
c.       Teori kendala perilaku
Suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengan membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactace) dari Brehm (dalam Schmidt dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai factor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia.

3.      Faktor yang mempengaruhi kesesakan
a.       Faktor Personal
1.      Kontrol Pribadi dan Locus Of Control; Selligman, dkk :
Kepadatan meningkat bias menghasilkan kesesakan bila individu sudah tidak punya control terhadap lingkungan sekitarnya. Control pribadi dapat mengurangi kesesakan. Locus Of Control ibternal : Kecendrungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaab yang ada di dalam dirinya lah yang berpengaruh kedalam kehidupannya.
2.      Budaya, pengalaman dan proses adaptasi
Menurut Sundstrom  Pengalaman pribadi dalam kondisi padat mempengaruhi tingkat toleransi. Menurut Yusuf Kepadatan meningkat menyebabkan timbulnya kreatifitas sebagai intervensi atau upaya menekankan perasaan sesak.
3.      Jenis kelamin dan usia
Pria lebih reaktif terhadap kondisi sesak Perkembangan, gejala reaktif terhadap kesesakan timbul pada individu usia muda.
b.      Faktor Sosial
1.      Kehadiran dan perilaku orang lain
2.      Formasi koalisi
3.      Kualitas hubungan
4.      Informasi yang tersedia
c.       Faktor Fisik
1.      Goves dan Hughes : Kesesakan didalamnya rumah berhubungan dengan factor-faktor fisik, jenis rumah, urutan lantai, ukuran, suasan sekitar.
2.      Altman dan Bell, dkk : Suara gaduh,panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, karakteristik setting mempengaruhi kesesakan.
Menurut Proshansky, dkk (1976) pengaruh psikologis dari kesesakan yang utama adalah kebebasan memilih individu dalam situasi sesak. Kesesakan terjadi bila kehadiran orang lain dalam suatu seting membatasi kebebasan individu dalam mencapai tujuannya.
Menurut Ancok, perasaan sesak di dalam rumah, dapat menimbulkan masalah :
1.      Menurunnya frekuensi hubungan sex
2.      Memburuknya interaksi suami istri
3.      Memburuknya cara pengasuhan anak
4.      Memburuknya hubngan dengan orang-orang diluar rumah
5.      Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa.
Asumsi konsekuensi negative dari kesesakan :
1.      Model beban stimulus
2.      Model kendala perilaku
3.      Model ekologi
4.      Model atribusi
5.      Model arousal
Menurut Brigham, akibat negative dari kesesakan pada perilaku manusia yaitu :
1.      Pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekankan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain.
2.      Keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggu kebebasan memilih
3.      Control pribadi yang kurang
4.      Stimulus yang berlebih.

4.  Pengaruh Kesesakan terhadap Perilaku

1.      Lingkungan sesak => aktifitas seseorang terganggu => interaksi interpersonal yang tidak diinginkan => mengganggu individu mencapai tujuan => gangguan norma meningkat ketidaknyamanan => penarikan diri dan menurunnya kualitas hidup.
2.      Pengaruh Negatif Kesesakan
3.      Penurunan-penurunan Psikologis : perasaan kurang nyaman, stress, cemas, suasana hati yang kurang baik, prestasi menurun, agresifitas meningkat, dan lain-lain.
4.      Malfungsi Fisiologis : Meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, penyakit-penyakit fisik.
5.      Hubungan Sosial Individu : Kenakalan remaja, menurunnya sikap gotong royong, menarik diri, berkurangnya intensitas hubungan social, dll.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2009. Kepadatan dan Kesesakan. http://www.depok.go.id/v3/index.php?option=com_content&task=view&id=309. 3 Maret 2011.